Tuesday, October 22, 2013

Tugas Agama Resensi Buku "Rektorika Islam"


TUGAS MATA KULIAH 
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 



NAMA                              : BAYU MOHAMAD RIFAI
NIM                                   : 131
-0655-031 
PRODI                              : S-1 FOTOGRAFI



KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
‘INSTITUT SENI INDONESIA (ISI) YOGYAKARTA’
FAKULTAS SENI MEDIA REKAM
( 2013 )


 
===============================================================
Judul : Retorika Islam

Pengarang : Dr. Yusuf Al-Qaradhawi

Penerjemah : H.M. Abdilah Noor Ridlo, Lc.

Penerbit : Khalifa

Tahun Terbit : 2004

Kota Terbit : Jakarta Timur

Jumlah Halaman : 256



Retorika biasanya identik dengan kemampuan berargumentasi, seni berkomunikasi, maupun ungkapan-ungkapan lisan yang berarti. Meski sederhana retorika bisa menjadi titik balik suatu keadaan, baik mengangkatnya keatas atau malah menggiring seseorang menuju suatu jurang.

Di buku yang berjudul Retorika Islam dengan tebal 256 halaman ini, ulama dunia Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menuangkan pemikirannya tentang retorika yang banyak dianggap masyarakat, khususnya masyarakat muslim, bukan sebagai alat utama dalam menyebarkan dakwah Islam.

Dr. Yusuf Al Qaradhawi adalah salah satu ulama yang cukup terkemuka yang banyak menulis buku tentang berbagai fatwa konteporer. Penulis ini banyak dikenal karena keberaniannya dalam memaparkan hal-hal baru yang belum banyak dibicarakan umat Islam, dalam hal ini kemoderatannya dalam berfatwa yang sangat sesuai dengan kondisi zaman.

Prolog dibuka dengan arti dari retorika Islam itu sendiri untuk menyamakan persepsi dan pandangan terkait reotorika. Penulis mengutarakan bahwa Retorika Islam bukan hanya sekedar seni menyampaikan ajaran Islam secara lisan saja namun Retorika Islam menurut penulis juga penyampaian secara keseluruhan baik itu lisan, tulisan, pemikiran, sikap, maupun tindakan yang bisa mengembalikan fungsi agama Islam sebagai rahmatan lil aalamin, rahmat bagi sekalian alam, baik muslim maupun non-muslim di muka bumi.

Qaradhawi juga menjelaskan secara mendetail hal-hal yang seharusnya dilakukan sebagai seorang muslim di tengah beragamnya umat manusia bagik dari sisi agama maupun budaya. Beliau membagi buku ini menjadi tiga bab utama. Hal yang menarik adalah judul pada bab pertama bernada tanya; “Apakah Retorika Agama Berubah?”. Hal ini tentu memperbesar keingintahuan pembaca yang pada awalnya ragu untuk membacanya agar tertarik.

Beliau menjelaskan bahwa retorika Islam senantiasa berubah dari masa ke masa, ia tumbuh berbeda di setiap waktunya, bahkan ia bisa mempunyai wajah yang berbeda pada waktu yang bersamaan jika kondisi atau lingkungannya berbeda.

Sesuatu yang disampaikan ke masyarakat umum di era kenabian tentu berbeda dengan yang disampaikan di era informasi dan teknologi. Begitupula sesuatu yang disampaikan kepada muslim yang taat tidak sama dengan sesuatu yang disampaikan kepada muslim yang bergelimangan maksiat. Retorika Islam mempunyai takarannya masing-masing sesuai dengan kondisi.

Bahkan dalam Al-Qur’an sendiri pun Allah telah memerintahkan seorang muslim untuk menyeru manusia kepada “jalan Tuhan” dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam pelaksanaannya, retorika Islam atau dakwah untuk Islam harus dilaksanakan dengan cara yang baik. Tentu maksud baik disini adalah menurut objek retorika tanpa melanggar aturan-aturan yang telah Allah buat, dengan demikian semakin terbukalah sekat yang mungkin ada diantara penyeru dan yang diseru, dan semakin luaslah dakwah Islam di muka bumi.

Perlu dtekankan disini bahwa dakwah Islam bukanlah milik satu dua orang perwakilan umat Islam yang mempunyai kapabilitas ilmu yang mumpuni saja, melainkan milik semua muslim di dunia. Seluruhnya yang meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan Muhammad adalah nabi terakhir berkewajiban menyerukan jalan keselamatan kepada sesamanya.

Bagaikan efek domino dimana suatu kewajiban menyebabkan gugurnya atau berdirinya suatu kewajiban lain, begitupula dengan retorika Islam yang pada hakikatnya merupakan ujung tombak dari dakwah Islam. Tanpanya dakwah Islam akan menemui kebuntuan bagai gagang pisau yang dipahat dengan sempurna tetapi telah kehilangan ketajaman mata pisaunya. Sebagus apapun pisau itu tak akan pernah sampai pada kegunaannya sebagai pemotong.

Qaradhawi melanjutkan pembahasannya berkaitan dengan retorika dalam Al-Quran ini di dalam bab kedua. Beliau banyak membahas bahwa yang dimaksud dengan “hikmah dan pelajaran yang baik” yang termaktub dalam Al-Quran adalah ujung pangkal dari bermacam retorika yang dalam kesehariannya kita sebut sebagai “akhlak islami”.

Akhlak islami termasuk didalamnya berbicara kepada seseorang sesuai dengan bahasa dan tingkatannya, bersikap ramah, dan gerakan bertahap dalam penyampaian dakwah. Sebagai contoh umat Islam saat ini seringkali terperangkap dalam masalah-masalah khilafiyah seperti sibuk mengurus cadar bahkan mengatakan dosa kepada wanita yang hanya mengenakan jilbab; padahal perhelatan saat ini bukan dalam masalah membuka wajah, tetapi membuka kepala, dada, dan paha. Lebih dari itu semakin merebaknya video-video porno yang mengekspos sekujur tubuh.

Selain masalah-masalah diantara umat Islam sendiri, pada bab dua ini Qaradhawi menyinggung istilah “kafir” sebagai sebutan untuk orang selain Islam yang merupakan persoalan tersendiri antara muslim dan non-muslim. Beliau lebih memilih sebutan “non-muslim” sebagai ganti dari penyebutan “kafir” kepada mereka sebagai bentuk darimauidzah hasanah atau dakwah dengan cara yang baik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Sifat Qaradhawi yang moderat dan seimbang terlihat di bab tiga yang membahas karakteristik retorika agama yang ideal. Penulis memberikan 15 poin utama yang menjadi akar retorika Islam selanjutnya, yaitu:

1. Beriman kepada Allah dan tidak mengingkari keberadaan manusia.

2. Meyakini wahyu dan tidak menafikan akal.

3. Menyeru kepada spiritual dan tidak meremehkan material.

4. Memperhatikan ibadah syar’iyah dan tidak melupakan nilai-nilai moral.

5. Mengagungkan akidah dan menyebar toleransi dan kasih sayang.

6. Memikat dengan idealisme dan mempedulikan realita.

7. Mengajak kepada keseriusan dan konsistensi, dan tidak melupakan istirahat dan berhibur.

8. Berpikir universal dan tidak melupakan aksi lokal.

9. Semangat kepada modernitas dan berpegang teguh kepada orisinalitas.

10. Berorientasi futuristic dan tidak memungkiri masa lalu.

11. Memudahkan dalam berfatwa dan menggembirakan dalam berdakwah.

12. Mengumandangkan ijtihad dan tidak melampaui batasan permanen.

13. Menolak aksi terror yang terlarang dan mendukung jihad yang disyariatkan.

14. Mengukuhkan eksistensi wanita dan tidak mengikirs martabat lelaki.

15. Melindungi hak-hak kaum minoritas dan tidak memarginalisasi kaum mayoritas.

Inti pembahasan dari buku ini ada pada bab ketiga yang jika diperhatikan, penulis sangat menjaga keseimbangan dalam beretorika, tidak terlalu condong ke golongan yang sangat liberal maupun condong ke golongan muslim radikal.

Ketidakseimbangan ini juga lah yang sebenarnya menjadi akar berbagai permasalahan dalam dunia Islam dimana umat terlalu membesar-besarkan hal yang kecil namun meninggalkan perkara yang sebenarnya besar dan penting. Begitu juga dengan pola pikir yang terlalu lokal sehingga seorang muslim tidak mengetahui kabar terbaru dari saudara muslim di belahan bumi lainnya dan sebaliknya.

Pada bagian penutup penulis mengajak kepada semua umat Islam untuk mulai merubah cara beretorika menuju retorika yang sesuai dengan karakteristik retorika ideal. Begitupula Beliau menuntut peradaban Barat dengan segala keangkuhannya dalam beretorika yang telah menghalalkan segala cara demi menodai pihak lain agar mengubah retorika dalam agamanya.

Buku ini merupakan karya kesekian dari penulis dan tidak berbeda jauh dengan buku-buku sebelumnya, buku ini disusun sedemikian rupa sehingga menampilkan poin-poin utama dan pembahasan dengan pola yang berulang-ulang.

Dimulai dari pengisahan contoh dari “ekstrimis ekstrimis” yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan posisi retorika kita seharusnya. Alur seperti ini sangat membantu untuk mempermudah pemahaman pembaca. Namun juga hal ini membuat pembaca mudah menebak arah selanjutnya dari pembahasan dan kesimpulan sehingga pembaca tidak menemui periode “klimaks” dari bacaan.

Hal ini mungkin memang dibuat karena buku Retorika Islam bertujuan untuk memberi informasi dan pencerahan, sehingga penulis meminimalisir terjadinya kesalahpahaman dalam mencerna isinya. Terlebih buku ini tergolong buku yang “berat” namun penulis berusaha membuatnya menjadi semenarik dan seringan mungkin sehingga bisa dinikmati oleh berbagai kalangan.

Terlepas dari jenis alur yang digunakan, buku ini sangat menginspirasi kita untuk menerapkan retorika Islam yang ideal sehingga dapat diterima oleh seluruh umat manusia dan ajaran Islam menyebar di berbagai sendi kehidupan.

Artikel Terkait

Tugas Agama Resensi Buku "Rektorika Islam"
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email